Cianjur, Juni 2011
Aku
baru lulus SMA dengan peringkat terbaik di sekolah, banyak mimpi yang ingin aku
capai setelah ini. Menjadi seorang Dokter adalah salah satu mimpi besarku dan
aku akan menggapainya. Namaku Nurjanah, biasa orang-orang memanggilku dengan
sebutan Nur. Dua hari lagi aku akan ikut paman ke Jakarta, tepatnya untuk
meneruskan kuliahku di tempat orang-orang dapat mewujudkan mimpinya.
Aku
memang bukan keluarga kaya, namun entah mengapa pamanku bersedia menyekolahkanku
ke Jakarta, pastinya aku menyambut dengan bahagia dan bersyukur, kesempatan
yang langka ini akan aku pergunakan dengan sebaik-baiknya, aku akan belajar
dengan sungguh-sungguh, bekerja juga untuk sedikit meringankan beban pamanku,
itulah mimpi dan semangatku sebelum meninggalkan kampung tercinta. Cianjur.
Jakarta, Juli 2011
Sekarang
aku sudah berada di kota Metropolitan bersama paman, akupun sudah melihat bakal
calon sekolahku yang baru, perguruan tinggi yang aku impi-impikan sejak kecil
sudah di depan mata, walau terbesit sedikit rasa minder namun cepat-cepat aku
tangkis dengan mengepalkan tangan dan bertekad untuk menaklukan kampus ini
dengan prestasiku.
Setahun
sudah ku jalani dengan baik, IPK ku terbilang Comloude, urusan pelajaranku terbilang lancar namun banyak urusan
lain yang menggerogoti otakku, paman yang awalnya lancar mengirimiku uang saku,
sudah tiga bulan ini nihil tanpa kabar, menurut informasi orang tua ku usaha
yang dijalankan paman bangkrut, namun biaya sekolahku, biaya kosnku, dan biaya
hidup sehari-hari tetap berjalan, aku bingung, aku sudah berusaha berkerja usai
kuliah dengan memberikan privat untuk anak-anak namun tetap saja kurang, setiap
bulannya selalu besar pasak dari pada tiang, gali lobang tutup lobang, maklum
kehidupan Jakarta yang memang mahal padahal aku sudah mencoba meringankan biaya
hidupku dengan hanya satu kali makan setiap hari namun tetap saja
sehari-harinya ada saja biaya yang harus dikeluarkan di kampus.
Orang
tua yang tadinya setuju aku meneruskan kuliah di jakarta mendadak menyuruhku
pulang. Kata ibu, ayah sakit keras, dan ibu juga harus merawat ayah, sedangkan
ketiga adikku masih duduk di bangku sekolah, betapa bingungnya aku saat ini.
***
Sesampainya
dikampung halaman, ternyata ibu sudah menyiapkan rencananya. Rencana yang
membuatku kaget bukan main. Seluruh perlengkapan termasuk paspor atas namaku
sudah ibu persiapakan, aku akan dikirim ke Arab Saudi untuk menjadi Tenaga
Kerja Wanita (TKW), benar-benar mimpi buruk yang tak pernah terbanyangkan, lalu
bagaimana dengan kuliahku dan dengan mimpi-mimpi besarku untuk menjadi Dokter.
Aku menangis dua hari tanpa keluar dari kamar, ternyata ibu melakukan itu
karena tergiur dengan gaji yang diceritakan para tetangga yang sudah merantau
kesana, sebegitunya kah dasyatnya uang hingga dapat merubah ibu yang tadinya
bijaksana menjadi otoriter.
Aku
berangkat dengan berat hati dan terpaksa ke Arab Saudi di jemput orang yang tak
aku kenal, dengan menyembunyikan hati yang meringis khusus di depan ibu, aku
mencoba tenang dan berdamai dengan nasib namun tetap saja air mata jatuh tak
tertahan.
Arab Saudi, Februari 2012
Sebulan
di Arab Saudi membuat kehidupanku berubah, kegiatan sehari-hariku bukan lagi
belajar namun bekerja persis pembantu rumah tangga, memang saat ini aku adalah
pembantu rumah tangga, sedih memang jika memikirkan mimpi ku namun sangat egois
jika hanya memikirkan diriku sendiri ditengan perut adik-adikku yang kelaparan,
aku iklas itu kunciku.
Tiga
bulan disini terasa lama sekali, namun tak apa yang penting disana ayah, ibu
dan adik-adikku bahagia dengan uang kiriman gajiku yang lumayan.
Majikanku
disini baik sekali, hanya ada sepasang suami istri yang sudah tua renta,
menurut ceritanya mereka mempunyai 3 orang anak laki-laki yang sedang berkuliah
di Negeri sebrang sehingga jarang sekali pulang, biasanya pulang setiap luburan
saja, aku jadi teringat kuliahku di Jakarta, aku meneteskan air mata dan
cepat-cepat aku hapus.
Aku
mengirim surat kepada ibu dan keluargaku,
Assalamu’alaukum…
Ibu, bagaimana kabar ayah? Semoga
ayah lekas membaik. Ibu maaf, ananda baru sempat mengirim surat. Ananda hanya
ingin mengabarkan pada ibu kalau ananda disini baik-baik saja, majikan ananda
disini sangat baik. Semoga adik-adik bisa terus bersekolah ya bu, salam rindu
untuk ibu, ayah dan adik-adik dari ananda di Arab Saudi.
Semoga
surat ini dapat mewakili rasa rindu aku yang selalu masuk dalam mimpiku tiap
malam.
Tok…tok..tok
Aku
cepat-cepat menuju ke arah pintu, tumben sekali ada tamu, dari pertama aku
tinggal disini belum pernah ada sekalipun tamu yang datang, hanya tukang koran
itupun hanya sampai halaman.
Muda, tinggi besar, putih, mancung,
sosok yang belum pernah aku kenal sebelumnya, namun Umi, sebutan majikanku yang
tua renta itu langsung memeluknya dan menyuruhku untuk mengangkat barang-barangnya
ke kamar atas. Dari wajahnya memang terlihat sedikit mirip, mungkin itu salah
satu anaknya yang pernah diceritakan.
Umi
segera masak beraneka ragam makanan kesukaan putranya, aku ditugasi untuk
membantunya memotong-motong, betapa cintanya Umi pada anaknya itu, aku jadi
rindu ibuku, kalau habis naik-naikan kelas dan aku mendapat juara kelas, ibu
langsung memasakan aku opor ayam dengan sambal pete kesukaanku, perutku
mendadak keroncongan, aku menelan ludah dan kembali melanjutkan memotong-motong
sayuran.
Makan
malam telah usai, aku seperti menjadi bagian dari mereka, bukan hanya sekedar
pembantu, mungkin karna Umi dan Abi tidak mempunyai anak perempuan atau mungkin
karena mereka sudah nyaman denganku yang pasti aku bahagia bisa bertemu dengan majikan
seperti mereka, walau sesekali aku suka sedih jika mengingat kuliahku.
Malam
ini terasa berbeda karena datangnya anggota baru, bukan anggota baru tapi aku
yang baru melihat. Semoga sifat anak laki-lakinya itu sama dengan sifat Umi dan
Abi nya yang baik.
Tiga
malam sudah berlalu, sedikit aneh buatku ketika pernah di suatu sore Rajab,
nama anak Umi yang baru datang itu minta dipijiti di dalam kamar yang pintunya
harus ditutup, awalnya aku menolak, aku katakan biar aku panggilkan tukang
pijit namun Rajab menolak, dia bilang terlalu lama jika harus memanggil tukang
pijit. Aku berpositif thingking, mungkin dia sangat lelah dengan perjalanan
yang lumayan jauh, aku memijitinya dengan syarat pintu kamar dibuka lebar, ia
setuju.
Berulang
kali Rajab minta dipijiti, aku sudah sering kali menolak namun Rajab selalu
memaksa, dia mengancamku akan memecatku jika aku tidak memijitinya. Aku tidak
mau memijiti Rajab karena terkadang Rajab membelai pipiku ketika aku sedang
memijiti tangannya, aku sering kali menangkis tangannya jika dia berusaha
memberlai pipiku atau mulai meraba tubuhku namun dia malah memegangku erat. Aku
ketakutan.
Malam
ini ketika Umi dan Abi sudah tertidur lelap, Rajab datang kekamarku minta
dipijiti, aku menolak. Rajab menyelinap masuk kekamarku, aku berteriak namun
tangannya membekap mulutku. Pintu kamarku dikunci olehnya dan kuncinya dia
sembunyikan di saku celananya, aku sungguh ketakutan, apa yang ingin dia
lakukan terhadapku, aku berusaha mengetuk pintu dan berteriak meminta
pertolongan namun tidak ada yang mendengar, kamarku memang berada jauh
dibelakang, bersebelahan dengan garasi hingga suara apapun tak mungkin
terdengar. Rajab menamparku karena aku tak mau menuruti kemauannuya untuk
tidur, aku terus menyelamatkan diriku dengan melempar benda-benda yang ada
disana, aku lemas, tenagaku hampir habis namun sekuat tenanga aku tetap
mempertahankan diriku. Rajab merobek bajuku dan menamparku hingga aku pingsan.
Malam itu menjadi malam terburuk yang pernah aku alami, aku tersadar sudah
tidak mengenakan busana, namun Rajab sudah tidak ada di sebelahku. Aku
kesakitan, rasanya seluruh badan dan hatiku sakit.
Aku
tidak keluar kamar, tidak menyapu halaman dan tidak memasak, Umi mengira aku
sakit, aku memang sakit namun Umi tidak tahu, sakit apa yang aku rasakan. Umi
dengan baik hati menyuruhku untuk istirahat saja, karena aku tidak mau dibawa
ke Dokter.
Tiga
hari aku selalu berada dikamar tanpa keluar, aku selalu menangis. Dan hal yang
aku takutkan datang kembali, Rajab datang lagi kekamarku dan mengunci pintuku
dan lagi-lagi dia melakukan itu. Dia merenggut kehormatanku kesekian kalinya.,
rasanya aku sudah tidak ingin hidup lagi.
Tugas meruba cerita non fiksi menjadi fiksi FLP, Sebelum Revisi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar