Pelajaran Filsafat Ilmu dan Logika 2
Dasar-dasar Ilmu Pengetahuan dan Kepastian Kebenaran
* * * *
Dasar-Dasar Pengetahuan
Dasar-dasar pengetahuan (knowledge) adalah beberapa hal yang secara hakiki diandaikan sebagai faktor yang memungkinkan adanya pengetahuan. Sudarminta (2006: 32-43), Sarwono (1998: ), dll., menyebut dasar-dasar pengetahuan tersebut. Yakni:
Pertama, pengalaman (experience). Ada dua pengertian pengalaman (experience). Pertama, an event that is lived through or undergone, as opposed to one imagined or thought about. Kedua, knowledge or skill resulting from instructive events and practice. Yakni, pengalaman yang dialami secara sadar oleh manusia. Baik berupa pengalaman inderawi maupun pengalaman nir-inderawi. Yang termasuk pengalaman nir-inderawi adalah pengalaman pribadi orang per orang atau kelompok yang bersifat individual. Keseluruhan pengalaman manusia dapat dipetakan menjadi dua kategori: primer dan sekunder. Pengalaman primer adalah pengalaman langsung akan persentuhan inderawi dengan benda-benda kongkrit atau fakta-fakta obyektif kasat mata atau peristiwa melalui penyaksian terhadap diri sendiri. Sedangkan pengalaman sekunder adalah pengalaman tidak langsung, pengalaman reflektif yang didasarkan pada pengalaman primer. Misalnya, saya sadar akan adanya kenyataan lain di luar saya yang merangsang organ-organ tubuh saya dan saya juga sadar akan kesadaran saya, sehingga saya bisa memastikan bahwa fenomena tersebut benar adanya.
Pengalaman, kata Sudarminta (2006: 32-33), memiliki tiga ciri pokok: (1) pengalaman manusia sangat beraneka ragam. Kita pernah melihat, mendengar, menyentuh, mencecap, membau, dan merasakan sesuatu; (2) pengalaman manusia selalu berkaitan dengan obyek tertentu di luar diri kita sebagai subyek. Yakni, pengalaman terjalin melalui hubungan antara subyek yang mengalami dengan obyek yang dialami; (3) pengalaman manusia terus bertambah dan bertumbuh seiring dengan bertambahnya usia, kesempatan, dan tingkat kedewasaan manusia.
Kedua, ingatan (memory). Yakni, ability to recieve past experience, based on the mental processes of learning or registration, retention, recall or retrieval, and recognition. Tanpa ingatan (memory), maka pengalaman inderawi manusia tidak akan dapat berkembang menjadi pengetahuan. Dengan mengingat, kita dapat mengumpulkan pengetahuan sehingga terbentuk wawasan, menambah kecakapan, mengasah ketrampilan. Apa yang diketahui, dipelajari, dan dilakukan orang sebelumnya dikritik, ditambah, dan diperkaya, sehingga semakin canggih dan kompleks.
Ketiga, kesaksian (witness). Ada dua makna kesaksian (witness). Yakni, pertama to observe an occurence of any sort. Usually, but not necessarily, limited to visual observation. Kedua, a person who can reliably report memory of an occurance seen or heard. Arti penting kesaksian (witness) untuk memperoleh pengetahuan adalah sebagai penegasan terhadap sesuatu sebagai hal yang benar oleh seorang saksi kejadian atau peristiwa, dan diajukan kepada orang lain sebagai hal yang dapat dibuktikan sehingga terpercaya. Di sini, kata “percaya” dimaksudkan sebagai pengakuan atas sesuatu sebagai benar didasarkan pada keyakinan akan kewenangan atau jaminan otoritas seorang yang memberi kesaksian. Di samping kesaksian diri sendiri, pengetahuan juga seringkali kita peroleh melalui kesaksian orang lain yang kita percaya kredibilitas moral dan intelektualnya. Ilmu pengetahuan seperti sejarah, hukum, politik, dan agama secara metodologis banyak bersandar pada kesaksian orang.
Keempat, minat (interest), perhatian (intention), dan rasa ingin tahu (curiousity). Minat (interest) adalah an attitude characterized by a desire to give selective attention to something significant to the individual. Likes or dislikes for activities and objects. Perhatian (intention) adalah a decision to act in a certain way or impulse for purposeful action, wheter conscious or not. Sementara rasa ingin tahu (curiousity) adalah the impulse to investigate, observe, or gather information, particularity when the material is novel or interesting. Tidak semua pengalaman, kesaksian, dll., berkembang menjadi pengetahuan. Untuk dapat berkembang menjadi pengetahuan, subyek yang mengalami sesuatu perlu memiliki minat (interest), perhatian (intention) dan rasa ingin tahu (curiousity) terhadap diri dan lingkungan di luar dirinya. Minat mengarahkan perhatian manusia terhadap hal-hal yang dialami dan dianggap penting untuk diperhatikan. Karena di dalam kegiatan mengetahui sebenarnya selalu sudah terkandung unsur penilaian (judgement) di dalamnya. Orang akan mengamati terhadap apa yang dia anggap bernilai. Sedangkan rasa ingin tahu (curious) mendorong orang untuk bertanya dan terus melakukan penyelidikan atas apa yang dialami dan menarik minatnya. “Semua manusia”, kata Aristoteles dalam pendahuluan karyanya yang berjudul Metafisika, “ingin mengetahui”. Rasa ingin tahu (curious) terkait erat dengan pengalaman kekaguman atau keheranan akan apa yang dialami. “Kegiatan filsafat sendiri di mulai dengan pengalaman akan kekaguman atau keheranan akan apa yang terjadi dalam diri dan lingkungannya”, kata Plato.
Kelima, pikiran (mind) dan penalaran (reasoning). Pikiran (mind) di sini adalah a tri-partite dimensional system of the mind developed by structural psychologists. Including (a) cogniton: the “knowing” aspects of the mind including perceptions, sensations, memory, intelligence, creativity; (b) affection: “emotions” such as fear, anger, hatred, baredom, fatigue; and (c) conation: “motivation” such as needs, wants, desires, goals, ambition. Sementara penalaran (reasoning) adalah a type of thinking that depends upon logical process further evidence, seems to be logical and possibly true and correct. Pikiran (mind) dan penalaran (reasoning) menjadi penting untuk dapat memahami dan menjelaskan apa yang dialami, manusia perlu melakukan kegiatan berfikir. Sedangkan berfikir (thinking) mengandaikan adanya pikiran (mind). Terdorong oleh rasa ingin tahu (corious), pikiran mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang relevan terhadap persoalan yang dihadapi. Kegiatan pokok pikiran dalam mencari pengetahuan adalah penalaran (reasoning). Penalaran (reasoning) merupakan proses bagaimana pikiran menarik kesimpulan dari hal-hal yang sebenarnya telah diketahui.
Penalaran (reasoning) bisa berbentuk induksi, deduksi, dan abduksi. Induksi adalah proses penalaran untuk menarik kesimpulan umum (universal) dari berbagai kejadian atau kasus-kasus khusus (partikular). Pembuatan generalisasi biasanya didasarkan pada sebuah penelitian atau penyelidikan terhadap suatu kasus dan kemudian menemukan adanya pola yang terus berulang. Deduksi adalah bentuk penalaran yang berangkat dari suatu pernyataan atau hukum umum ke kejadian khusus, yang niscaya dapat diturunkan dari pernyataan atau hukum umum tersebut. Sedangkan abduksi adalah penalaran untuk merumuskan sebuah hipotesis berupa pernyataan umum yang kemungkinan kebenarannya masih perlu diuji coba lebih lanjut.
Misalnya, diketahui bahwa semua pohon mangga di kebun P Amat adalah jenis mangga manalagi. Di dapur P Amat ada sekeranjang buah mangga, dan kesemuanya jenis mangga manalagi. Bisa disimpulkan, ada kemungkinan bahwa mangga-mangga manalagi itu dipetik dari kebun P Amat sendiri.
Keenam, Logika (logic). Yakni, a series of rules for coming to the correct conclusion based on premises, including the use of sillogisms, inductive, and deductive thinking process. Dengan demikian, kegiatan penalaran (reasoning) tidak dapat dilepaskan dari logika (logic). Tidak sembarang kegiatan berfikir (thinking) dapat disebut penalaran (reasoning). Penalaran (reasoning) adalah berfikir menurut asas kelurusan berfikir atau sesuai dengan hukum logika. Logika bisa berbentuk induktif, dedktif, dan abduktif. Karena itu, hanya penalaran yang membawa kepada kesimpulan ketiga bentuk hukum logika di atas yang dapat dikatakan sahih (valid).
Penalaran deduktif biasanya diharapkan dalam bentuk silogisme. Setiap silogisme mempunyai dua macam premis (yakni, premis mayor dan premis minor) dan satu kesimpulan (inference). Sebuah silogisme dapat bersifat kategoris, hipotetis, dan disjungtif. Silogisme kategoris adalah silogisme yang terdiri dari proposisi-proposisi yang bersifat kategoris.
Misalnya, S itu P, dan S itu bukan P. Karena itu, silogisme kategoris dapat bersifat positif (is) dan negatif (is not). Silogisme hipotetis adalah silogisme dalam proposisi yang bersyarat. Bisanya berbentuk: kalau... maka.... atai jika... maka... (dalam bahasa Inggris: either ... or ... atau neither .... nor ...
Ada dua macam silogisme hipotetis, yakni:
Modus Panens: kalau p => q
Tetapi p
Maka, q
Modus tollens: kalau p => q
Tetapi q
Maka, p
Silogisme disjungtif adalah silogisme yang sahih hanya dalam sdalah satu kemungkinan yang menyingkirkan kemungkinan-kemungkinan yang lain.
Contoh: atau p, atau q, atau r
Tetapi bukan p, dan bukan q
Maka, r
Ketujuh, bahasa (language). Bahasa adalah any means, vocal, or other, of expressing or communicating thought or feeling. Bahasa merupakan penanda sesuatu, dengan kegiatan menanda sehingga manusia menyamakan simbol-simbol yang menandakan ide atau sesuatu dengan pihak lain. Dengan cara ini, manusia dapat menjalin komunikasi dengan pihak lain. Berkat kemampuannya berbahasa, manusia mampung mengembangkan pengetahuannya, dan mengikatnya dalam bentuk tulisan dalam bahasa tertentu. Dengan bahasa, manusia bukan hanya dapat mengungkapkan dan mengkomunikasikan pikiran, perasaan, dan sikap batinya, tetapi juga menyimpan, mengingat kembali, mengulas, dan memperluas apa yang sampai sekarang telah diketahuinya.
Kedelapan, kebutuhan hidup manusia (human needs or interest). Memperoleh pengetahuan yang dibutuhkan merupakan suatu bagian hakiki dari cara berada manusia. Knowing is a mode of being. Pengetahuan, baik yang pra ilmiah maupun yang ilmiah, dapat dikatakan merupakan upaya manusia untuk menafsirkan, memahami, dan akhirnya juga untuk menguasai dan memanfaatkan dunia sekitar guna menunjang pemenuhan kebutuhan hidup manusia. Pengetahuan yang benar, pada dasarnya dicari manusia untuk dapat bertindak secara tepat. “Pengetahuan (knowledge)”, kata John Macmurray (1978: 33), “adalah demi tindakan (is for the sake of action)”.
* * * *
Dari “Pengetahuan” (Knowledge), menuju Sains
Kedelapan faktor yang dapat memberi pengetahuan kepada di atas dapat berfungsi sebagai pemasok (suplyer) yang jika diolah akan menjadi bahan untuk merumuskan ilmu pengetahuan. Jika sudah menjadi ilmu pengetahuan (sains), maka sifatnya menjadi obyektif, metodologis, dan empiris. Keberannya bersifat relatif.
* * * *
Science, dan Pseudo-Science
Dalam sebuah buku yang sangat menarik, Critical Thinking in Psychology, John Ruscio (2006: 6-10) mendaftar sepuluh karakteristik yang menjadi indikator sebuah sains, yang tampak luarnya sebagai sains, namun mengidap potensi untuk disebut sebagai sains yang semu (pseudo-science). Kesepuluh karakteristik tersebut adalah:
1. Outward appearance of science: pseudo-science boleh jadi menggunakan bahasa yang seakan-seakan ilmiah, tetapi bahasa yang ia gunakan tidak ada isinya yang bersifat subtansial. Bahasa atau jargon yang biasa digunakan para ilmuwan, biasanya hanya digunakan sebagai alat komunikasi di antara para ahli. Pseudo-science menggunakan bahasa-bahasa yang glamour dalam menjelaskan sesuatu. Perbedaan antara sains dengan pseudo-science, misalnya, terlihat pada bagaimana ahli fisika menjelaskan dengan jernih pengertian dari energi.
2. Absence of skeptical peer review: karya pseudo-science tidak seperti sains dipublikasikan melalui journal, konferens, seminar, dll., demi untuk memperoleh koreksi, komentar, dan mekanisme mengecek kesalahan.
3. Reliance on personal experience. Yakni, sains senantiasa didasarkan pada penelitian empiris yang sistematis. Ini berarti bahwa ilmuwan melakukan kontrol yang ketat terhadap kajian atau penelitian yang bertujuan mengetes hipotesis atau proposisi yang dikemukakannya. Pseudo-sains tidak melakukan itu.
4. Evassion of risky tests: sains dibangun dengan berbagai hipotesis dan proposisi, yang sekali tidak terbukti akan gugur selamanya. Karena itu, penelitian dan kajian selalu merupakan tes yang penuh resiko.
5. Retreats to the supernatural: sains berisi metode untuk menyingkap prinsip-prinsip dalam alam semesta, agar hasil observasinya valid secara ilmiah.
6. The mantra of holism: tugas utama ilmuwan adalah mengurai apa inti perbedaan antara peristiwa, gejala, atau fakta yang tampaknya saling berhimpitan untuk memperkaya teori. Misalnya, mengidentifikasi partikel sub-atom, unsur-unsur chemical, penyakit badan, gangguan mental, dll.
7. Tolerance of inconsistencies: ilmuwan mendeskripsikan masalah dengan prinsip-prinsip logika formal, pseudo-sains tidak demikian.
8. Appeals to authorithy: sains selalu berdasarkan data empiris, agar setiap orang dapat membaca dan mengkritisi secara terbuka tahap-tahap penelitian empiris dan kesimpulan penelitian ilmiah.
9. Promising the impossible: sains sangat menghormati keterbatasan ilmu pengetahuan dan kapabilitas teknologi dewasa ini.
10. Stagnation: perkembangan sains sangat cepat, sementara pseudo-science mandeg.
Agar tidak terjebak pada pseudo-science, maka solusi yang ditawarkan Ruscio adalah berfikir secara kritis (thinking critically). Yang dimaksud dengan berfikir secara kritis oleh Ruscio adalah serangkaian kemampuan seseorang yang membebaskan seseorang, terutama pada saat seseorang tersebut berfikir, sehingga hasil pemikirannya membebaskan namun terlihat sangat hati-hati. Berfikir kritis membuat diri sendiri puas dan nyaman dengan keputusan yang diambilnya. Berfikir kritis tidak mengarahkan pada “apa” yang harus dipercayai, tetapi pada bagaimana mereka sampai pada pilihan-pilihan yang benar, yang sangat sesuai dengan nilai yang dipeganginya.
Termasuk jika harus menelaah kembali klaim-klaim ilmu pengetahuan dengan mengidentifikasi pada bagaimana penalaran ilmiah (scientific reasoning) dilakukan. Penalaran ilmiah yang dijadikan landas tumpu perumusan ilmu pengetahuan itu, antara lain, berupa hal-hal sebagai berikut:
· Falsifiabilitas;
· Logic;
· Comprehensiveness;
· Honesty;
· Replicability;
· Sufficiency.
* * * *
Benar, Tepat, dan Pasti
Demi kejernihan (clear) dan keakuratan (precise) peristilahan yang digunakan, penting dijelaskan tentang istilah seperti “kebenaran”, “ketepatan”, dan “kepastian” dalam filsafat ilmu pengetahuan. Semua itu agar ilmu pengetahuan yang dibangun dapat dipercaya (credible).
Sejak zaman Yunani Kuno, Aristoteles misalnya, telah mengadakan pembedaan antara hasil pengetahuan yang benar dari pengetahuan yang tepat. Istilah “benar” menyangkut isi pengetahuan itu sendiri. Jika ilmu pengetahuan memberi pernyataan atau informasi, maka content dari informasi tersebut benar. Sedangkan istilah “tepat” berkenaan dengan jalan yang ditempuh untuk mencapai pengetahuan yang dianggap benar. Jadi, istilah “tepat” digunakan untuk membicarakan tentang metodologi. Tegasnya, istilah “tepat” merujuk pada cara kerja, baik pada metodologi yang digunakan sebagai alat untuk memperoleh ilmu pengetahuan, maupun pada prosedur yang ditempuh untuk mengaplikasikan ilmu pengetahuan tersebut.
Istilah “tepat” dalam ilmu-ilmu sosial (social sciences) tercermin pada tiga hal berikut: Pertama, tepatnya cara kerja penemuan, baik dalam proses terjadinya ilmu-ilmu maupun dalam penyampaian hasilnya secara didaktis. Kedua, tepatnya cara kerja dalam penerapan hasil ilmu. Ketiga, hanya untuk ilmu-ilmu kemanusiaan (humanity sciences): tepatnya kesadaran akan hubungan timbal balik antara subyek pengetahuan dengan obyeknya. Inilah yang kemudian disebut dengan pendekatan dialektis yang menandai cara kerja ilmu-ilmu kemanusiaan.
Sedangkan istilah “benar” nanti akan dijelaskan secara mendetail tentang teori-teori kebenaran. Dalam ilmu pengetahuan, ke”pasti”an disamakan dengan akurasi (acuration). Dalam ilmu-ilmu empiris, termasuk ilmu humaniora, atau disebut social sciences, mengejar kepastian dalam dua arti: pertama, mengejar kepastian tentang eksplanasi dari gejala-gejala yang diselidiki; kedua, kepastian mengenai kesimpulan yang dapat ditarik dari hukum yang berlaku.
Sedangkan dalam konteks ilmu pasti (natural sciences), kepercayaan diletakkan pada dua hal: pertama, dalam konteks penemuan (context of discovery), sebagai mengenai usaha coba-coba; kedua, dalam konteks pembenaran (context of justification) dari salah satu sistem matematika atau logika yang sudah jadi dan berdiri sendiri. la tidak berupa hipotesa lagi, melainkan berupa ungkapan yang bersifat aksiomatis, hukum, dan dalil-dalil.
* * * *
Macam-Macam Pengertian Kebenaran
Apa itu kebenaran?
“Kebenaran” berasal dari bahasa Yunani alètheia yang berarti “ketaktersembunyian adanya” (the uncoverness of being) atau “ketersingkapan adanya” (the unhiddenness of being). Karena itu, selama kita masih terikat pada “yang ada” (the beings) dan tidak masuk pada “adanya dari yang ada itu” (the being of all beings), berarti kita belum berjumpa dengan kebenaran. Karena “adanya” (the being) itu masih tersembunyi. Menurut Plato, kebenaran sebagai ketaktersembunyiannya adanya itu tidak dapat dicapai manusia selama hidupnya di dunia ini. Pengertian kebenaran yang dikemukakan Plato di atas, disebut Thomas Aquinas dengan kebenaran ontologis.
Berdasarkan argumen itu, kebenaran, kata Sudarminta (2006: 127), biasanya dimengerti sebagai kesesuaian antara apa yang dipikirkan dan/atau dinyatakan dengan “kenyataan yang sesungguhnya” (fact as it is). Dalam pengertian ini, kenyataan yang sesungguhnya menjadi tolok ukur penentu penilaian.
Kebenaran, kata Verhaak (1991: 131), adalah kenyataan adanya (being) yang menampakkan diri sampai masuk akal. Karena sering dirancukan, Sudarminta (2006: 124-5), menegaskan penggunaan istilah yang kiranya diperlukan.
Pertama, istilah “benar-salah” (dalam bahasa Inggris disebut true-false) digunakan untuk menilai sifat atau kualitas suatu proposisi atau makna.isi suatu pernyataan.
Kedua, istilah “betul-keliru” (dalam bahasa Inggris truth-error) digunakan untuk menilai keadaan orang atau si pembuat pernyataan sebagai akibat dari pertimbangan atau putusannya atas suatu proposisi. Misalnya, orang bisa keliru karena menganggap dan meyakini benar apa senyatanya salah, ketika menyatakan: “Matahari berputar mengelilingi Bumi”.
Ketiga, istilah “tepat-meleset” (dalam bahasa Inggris correct-incorrect) digunakan untuk menilai jawaban atas suatu pernyataan atau persoalan.
Keempat, istilah “sahih-tidak sahih” (dalam bahasa Inggris valid-invalid, terkadang juga disebut sound-unsound) digunakan untuk menilai proses, prosedur atau langkah-langkah penalaran dan penyimpulan suatu argumen: lurus tidaknya, sesuai atau tidak dengan kaidah penalaran.
Setelah mendudukkan beberapa istilah pada “tempatnya”, maka kiranya perlu kita sadari pembedaan pengertian kebenaran yang bisa dilakukan.
Pertama, biasanya orang membedakan antara “kebenaran faktual” dengan “kebenaran nalar”. Kaum postivis logis mengklaim tidak ada kebenaran lain selain kedua kebenaran tersebut. Kebenaran faktual adalah kebenaran tentang ada tidaknya secara faktual di dunia nyata sebagaimana dialami manusia (biasanya diukur dengan dapat tidaknya ketika diamati secara inderawi) apa yang dinyatakan. Misalnya, “bumi itu bulat” memang secara faktual demikian. Kebenaran nalar adalah kebenaran yang bersifat tautologis dan tidak menambah pengetahuan baru mengenai dunia ini, tetapi dapat merupakan sarana yang berdaya guna untuk memperoleh pengetahuan yang benar tentang dunia ini. Misalnya, kalau A > B, B > C, maka A > C.
Kedua, para ahli, termasuk Thomas Aquinas, membedakan antara kebenaran ontologis (veritas ontologica) dan kebenaran logis (veritas logica). Kebenaran ontologis adalah kebenaran yang terdapat dalam kenyataan, entah spiritual atau material, yang meskipun ada kemungkinan untuk diketahui, masih lepas dari gejala pengetahuan. Misalnya, kebenaran tentang adanya Tuhan, tentang keabadian jiwa, dll. Sedangkan kebenaran logis adalah kebenaran yang terdapat dalam akal budi manusia si penahu, dalam bentuk adanya kesesuaian antara akal budi dan kenyataan.
Ketiga, sebagai reaksi terhadap paham kebenaran Materialisme Ilmiah yang menyamakan antara kebenaran dengan kenyataan, yang dapat dibuktikan berdasarkan pengamatan inderawi, atau kenyataan yang bersifat publik dan impersonal, kaum Eksistensialis menekankan pentingnya akan kebenaran eksistensial. Dengan kebenaran eksistensial dimaksudkan apa yang secara pribadi (personal) berharga bagi subyek yang bersangkutan dan pantas untuk dipegang teguh dengan penuh kesetiaan. Jika kebenaran ilmiah bersifat eksternal terhadap subyek, maka kebenaran eksistensial bersifat internal terhadap subyek.
* * * *
Kedudukan Kebenaran
Sudarminta (2006: 128-9) menyatakan bahwa tempat kedudukan kebenaran pengetahuan dalam tradisi Aristotelian lebih diletakkan dalam obyek atau kenyataan yang diketahui. Sedangkan dalam tradisi Platonis diletakkan pada subyek yang mengetahui. Bagi manusia, makhluk yang terbatas ini, kebenaran sebagai ketersingkapan kenyataan sebagaimana adanya ternyata tidak bisa disaksikan secara sekaligus dan menyeluruh. Setiap penyingkapan tabir (disclosure) selalu tidak pernah sama sekali terbebas dari perjumpaan tabir baru yang masih menutupi (closure) kenyataan tersebut. Maka, pencarian dan penemuan kebenaran merupakan proses yang tak kunjung henti. Kalau kebenaran akhirnya berada dan dapat tersingkap dalam relasi antara subyek dan obyek, padahal keduanya menyejarah, maka penegasan kebenaran pengetahuan tak dapat dilepaskan dari konteks sejarah
* * * *
Teori-Teori Kebenaran
Sebuah teori kebenaran tidak hanya memuat pengertian istilah kebenaran, tetapi juga menetapkan syarat-syarat yang perlu dipenuhi agar suatu pernyataan atau kepercayaan dapat disebut benar. Dengan kata lain, di dalamnya juga termuat tolok ukur untuk bagaimana mengenalinya. Tentang cara mengenali ini, ada beberapa teori yang dapat membantunya. Yakni:
Pertama, Teori Kebenaran Korespondensi atau Kesesuaian (correspondence theory of truth). Tokoh-tokoh teori ini adalah Leibniz, Wittgenstein, dan kaum Atomis Logis. Secara umurn, teori ini pada dasarnya mengatakan bahwa "suatu pernyataan dianggap benar kalau pernyataan tersebut berkorespodensi (sesuai) dengan obyek yang dirujuk oleh pernyataan tersebut". Jaminan kebenaran di sini adalah adanya kesamaan atau setidak-tidaknya kemiripan struktur antara apa yang dinyatakan (proposisi yang diungkapkan dalam kalimat) dan suatu fakta obyektif di dunia nyata yang dirujuk oleh pernyataan tersebut. Contoh, "Gunung Cede terletak di daerah Jawa Barat" itu benar, karena isi pengetahuan yang terkandung dalam pernyataan tersebut sesuai dengan fakta geografis.
Teori kebenaran korespondensi ini memiliki beberapa versi, karena perbedaan asumsi dasarnya. Leibniz misalnya, mendasarkan diri pada asumsi adanya keselarasan yang sudah ditetapkan lebih dahulu oleh Tuhan (pre-established harmony) antara tatanan pengetahuan dan tatanan kenyataan.
Kedua, Teori Kebenaran Koherensi (coherence theory of truth). Teori ini berakar pada dua hal: (1) fakta bahwa matematika dan logika adalah sistem deduktif yang ciri hakikinya adalah konsistensi; (2) sistem metafisika rasionalistik yang seringkali mengambil inspirasi dari matematika. Oleh karena itu, kaum rasionalis dan kaum positivis logis sangat gandrung pada teori ini. Menurut teori ini, tolok ukur suatu pernyataan dianggap benar bila pernyataan itu bersifat koheren atau konsisten dengan sistem pernyataan sebelumnya yang sudah diandaikan kebenarannya.
Teori koherensi cocok untuk digunakan untuk menilai pernyataan-pernyataan logis dan matematis. Misalnya, A > B, dan B > C, maka A > C.
Ketiga, Teori Kebenaran Pragmatis (pragmatism theory of truth) yang dikemukakan Charles S. Pierce, William James, John Dewey, dan A. R. White.
Secara umum, pragmatisme adalah paham pemikiran yang menekankan akal budi manusia sebagai sarana pemecahan masalah dalam menghadapi persoalan kehidupan manusia, baik yang bersifat praktis maupun teoritis. James mengatakan, bahwa tolok ukur untuk menilai apakah suatu pernyataan itu benar atau tidak, hanya dari kenyataan apakah pernyataan itu kalau diwujudkan dalam tindakan (atau dioperasionalisasikan) akan sukses atau membawa hasil seperti diharapkan, maka ini berarti menyamakan yang benar dengan berhasil atau yang sukses. Something is true if it works, kata James.
Apakah sudah tentu demikian? Belum tentu. Inilah yang kemudian dikritik oleh Dewey. Teori ini masuk akal sejauh yang dibicarakan menyangkut kasus-kasus adanya masalah yang harus dipecahkan atau adanya penyelidikan yang perlu dilakukan. Namun, begitu kita mulai memikirkan adanya perbedaan antara menerima sesuatu sebagai benar dan menerima bahwa senyatanya memang benar, muncullah kesulitan teori pragmatis. White menyebutkan bahwa ada perbedaan antara sesuatu yang "dapat diterima" sebagai benar dan sesuatu yang "memang senyatanya memang" benar. Yang pertama merupakan suatu bentuk kesepakatan (yang tetap bisa saja salah), sedangkan yang kedua senyatanya secara faktual memang benar.
Oleh karena itu, teori ini cocok untuk digunakan untuk menilai pernyataan-pernyataan empiris faktual. Misalnya, "hari ini saya sakit kepala, karena memang lagi sakit flu". Teori ini juga cocok untuk menilai kebenaran pernyataan-pernyataan ilmiah sebagai hipotetis yang masih perlu dibuktikan. Misalnya, "Semakin banyak hutan digunduli, semakin banyak erosi dan tanah longsor terjadi".
Teori koherensi dan teori pragmatis bisa dikatakan menggarisbawahi dua sifat kebenaran dari teori korespondensi, karena kalau suatu proposisi itu benar berkat adanya korespondensi antara isi proposisi tersebut dengan hal atau benda yang dirujuk olehnya, maka: (1) proposisi itu koheren atau konsisten dengan proposisi-proposisi lain yang benar; (2) proposisi tersebut kalau diuji dalam praktek akan membawa hasil positif yang diharapkan.
Keempat, Teori Kebenaran Semantik (semantism theory of truth) yang dikemukakan oleh Tarsky. Teori ini sesungguhnya hanya memberi penjelasan lebih lanjut dari apa yang diyakini oleh penganut teori koherensi dan pragmatis. Penganut teori koherensi dan pragmatis dapat saja kita menerima konsep kebenaran semantik Tarsky sebagai teori yang "menunjukkan" apa arti kalau mereka mengatakan bahwa suatu proposisi itu benar. Teori semantik Tarsky menyatakan, kalau "p" itu benar, apabila dan hanya apabila itu memang "p". Yakni, pernyataan "hari sedang turun hujan" itu benar adanya, apabila dan hanya apabila memang dalam kenyataan di luar pikiran manusia sesungguhnya "hari sedang turun hujan".
Kelima, Teori Kebenaran Performatif (performative theory of truth). Teori ini mengemukakan bahwa suatu pernyataan atau ujaran itu benar apabila apa yang dinyatakan itu sungguh terjadi ketika pernyataan atau ujaran itu dilakukan (performed). Misalnya, ketika pimpinan MPR melantik dua orang pejabat dengan menyatakan: "Dengan ini saya melantik anda berdua menjadi Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia", maka pernyataan itu benar karena diucapkan oleh pimpinan institusi yang berwenang kepada orang yang memang akan mengerjakan isi dari apa yang dinyatakannya. Pernyataan itu tidak benar jika diucapkan oleh institusi yang tidak berwenang kepada mereka yang bukan berhak.
Keenam, Teori Kebenaran Konsensus (Consensus theory of truth) yang dikemukakan Thomas Kuhn dalam The Structure of Scientific Revolution. Yang kemudian mengembangkan apa yang disebut Etika Diskursus, yang dikembangkan oleh Juergen Habermas.
Kuhn menjelaskan bahwa teori ilmiah dianggap benar kalau dapat disetujui oleh komunitas ilmuwan dari bidang ilmu yang bersangkutan sebagai benar. Konsensus para ahli bidang ilmu yang bersangkutan de facto dalam praktek menjadi penentu benar tidaknya suatu teori. Seperti ketika dia menyatakan: there is no standard higher than the assent of the relevant community. Bagi Kuhn, tujuan pokok sains, yang kegiatannya selalu bergantung pada paradigma yang dianut, bukan untuk mencari kebenaran, tetapi memecahkan teka-teki (puzzles solving) yang terhampar dalam alam semesta. Salah satu tolok ukur utama untuk menilai apakah dibandingkan dengan waktu sebelumnya semakin banyak teka-teki yang tersajikan dalam alam semesta terpecahkan atau tidak.
Sementara teori kebenaran konsensus yang dikemukakan oleh Habermas, syarat untuk kebenaran pernyataan-pernyataan adalah kemungkinan adanya persetujuan dari para partisipan rasional dalam satu diskursus. Kebenaran berarti suatu janji akan tercapainya suatu konsensus rasional. Suatu pernyataan dapat disebut benar kalau klaim validitas yang dimunculkan oleh tindak-tutur yang kita pakai untuk menegaskan pernyataan tersebut adalah absah. Untuk itu, kata Habermas (1973: 211-265), maka syarat-syarat berikut diandaikan terpenuhi: (I) pernyataan itu mesti mudah dipahami; (2) isi proporsional dari pernyataan tersebut benar; dan (3) sewajarnya atau dapat dibenarkan bahwa si pembicara membuat ujaran tersebut; dan (4) si pembicara berbicara benar dan jujur.
Ketujuh, teori kebenaran religious (religious theory of truth), yakni kebenaran yang didasarkan pada dogma ajaran agama. Sebagaimana sifat kebenaran yang dikemukakan oleh berbagai teori di atas, kebenaran yang dikemukakan oleh teori kebenaran ini juga tidak bisa diganggu gugat. Pendek kata, kebenaran berdasarkan agama memiliki otoritas yang sama dengan berbagai jenis kebenaran yang lain. Misalnya, Tuhan Esa, adalah benar karena menurut doktrin agama, Islam mengajarkan Tuhan itu Maha Esa.
* * * *
Kebenaran dan Kekeliruan
Kata "keliru" dan "salah" dalam ilmu pengetahuan itu berbeda. Kekeliruan berarti menerima sebagai benar apa yang senyatanya salah, atau menyangkal apa yang senyatanya benar. Kekeliruan adalah sesuatu yang menyangkut tindakan kognitif subyek penahu, sedangkan kesalahan adalah hasil dari tindakan tersebut. Kekeliruan muncul muncul akibat kegagalan dalam mengidentifikasi bukti yang tepat; menganggap bukti sudah mencukupi padahal belum atau sebaliknya menganggap bukti belum cukup padahal sudah.
Sudarminta (2006: 135-6) mengidentifikasi faktor penyebab kekeliruan dan kesalahan. Faktor penyebab yang dapat memungkinkan terjadinya kekeliruan dapat disebut, misalnya, kompleksitas dan atau kekaburan perkara yang jadi persoalan. Sementara faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kekeliruan, adalah: (1) sikap terburu-buru dan kurang perhatian dalam salah satu tahap atau bahkan seluruh proses kegiatan mengetahui; (2) sikap takut salah yang keterlaluan, atau sebaliknya, sikap terlalu gegabah dalam melangkah; (3) kerancuan dan kebingungan akibat emosi, nafsu, perasaan tentang suatu hal, tetapi mengganggu konsentrasi atau membuat kurang terbuka sikapnya terhadap bukti-bukti yang tersedia; (4) prasangka dan bias, baik individu maupun sosial; (5) keliru dalam penalaran atau tidak mematuhi kaidah-kaidah logika.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar