24 Juni, 2012

TKW Asal Cianjur Disiksa dan Dilecehkan


Cianjur, Juni 2011

Aku baru lulus SMA dengan peringkat terbaik di sekolah, banyak mimpi yang ingin aku capai setelah ini. Menjadi seorang Dokter adalah salah satu mimpi besarku dan aku akan menggapainya. Namaku Nurjanah, biasa orang-orang memanggilku dengan sebutan Nur. Dua hari lagi aku akan ikut paman ke Jakarta, tepatnya untuk meneruskan kuliahku di tempat orang-orang dapat mewujudkan mimpinya. 

Aku memang bukan keluarga kaya, namun entah mengapa pamanku bersedia menyekolahkanku ke Jakarta, pastinya aku menyambut dengan bahagia dan bersyukur, kesempatan yang langka ini akan aku pergunakan dengan sebaik-baiknya, aku akan belajar dengan sungguh-sungguh, bekerja juga untuk sedikit meringankan beban pamanku, itulah mimpi dan semangatku sebelum meninggalkan kampung tercinta. Cianjur.

Jakarta, Juli 2011

Sekarang aku sudah berada di kota Metropolitan bersama paman, akupun sudah melihat bakal calon sekolahku yang baru, perguruan tinggi yang aku impi-impikan sejak kecil sudah di depan mata, walau terbesit sedikit rasa minder namun cepat-cepat aku tangkis dengan mengepalkan tangan dan bertekad untuk menaklukan kampus ini dengan prestasiku.

Setahun sudah ku jalani dengan baik, IPK ku terbilang Comloude, urusan pelajaranku terbilang lancar namun banyak urusan lain yang menggerogoti otakku, paman yang awalnya lancar mengirimiku uang saku, sudah tiga bulan ini nihil tanpa kabar, menurut informasi orang tua ku usaha yang dijalankan paman bangkrut, namun biaya sekolahku, biaya kosnku, dan biaya hidup sehari-hari tetap berjalan, aku bingung, aku sudah berusaha berkerja usai kuliah dengan memberikan privat untuk anak-anak namun tetap saja kurang, setiap bulannya selalu besar pasak dari pada tiang, gali lobang tutup lobang, maklum kehidupan Jakarta yang memang mahal padahal aku sudah mencoba meringankan biaya hidupku dengan hanya satu kali makan setiap hari namun tetap saja sehari-harinya ada saja biaya yang harus dikeluarkan di kampus.

Orang tua yang tadinya setuju aku meneruskan kuliah di jakarta mendadak menyuruhku pulang. Kata ibu, ayah sakit keras, dan ibu juga harus merawat ayah, sedangkan ketiga adikku masih duduk di bangku sekolah, betapa bingungnya aku saat ini.
***
Sesampainya dikampung halaman, ternyata ibu sudah menyiapkan rencananya. Rencana yang membuatku kaget bukan main. Seluruh perlengkapan termasuk paspor atas namaku sudah ibu persiapakan, aku akan dikirim ke Arab Saudi untuk menjadi Tenaga Kerja Wanita (TKW), benar-benar mimpi buruk yang tak pernah terbanyangkan, lalu bagaimana dengan kuliahku dan dengan mimpi-mimpi besarku untuk menjadi Dokter. Aku menangis dua hari tanpa keluar dari kamar, ternyata ibu melakukan itu karena tergiur dengan gaji yang diceritakan para tetangga yang sudah merantau kesana, sebegitunya kah dasyatnya uang hingga dapat merubah ibu yang tadinya bijaksana menjadi otoriter.

Aku berangkat dengan berat hati dan terpaksa ke Arab Saudi di jemput orang yang tak aku kenal, dengan menyembunyikan hati yang meringis khusus di depan ibu, aku mencoba tenang dan berdamai dengan nasib namun tetap saja air mata jatuh tak tertahan.

Arab Saudi, Februari 2012

Sebulan di Arab Saudi membuat kehidupanku berubah, kegiatan sehari-hariku bukan lagi belajar namun bekerja persis pembantu rumah tangga, memang saat ini aku adalah pembantu rumah tangga, sedih memang jika memikirkan mimpi ku namun sangat egois jika hanya memikirkan diriku sendiri ditengan perut adik-adikku yang kelaparan, aku iklas itu kunciku. 

Tiga bulan disini terasa lama sekali, namun tak apa yang penting disana ayah, ibu dan adik-adikku bahagia dengan uang kiriman gajiku yang lumayan.

Majikanku disini baik sekali, hanya ada sepasang suami istri yang sudah tua renta, menurut ceritanya mereka mempunyai 3 orang anak laki-laki yang sedang berkuliah di Negeri sebrang sehingga jarang sekali pulang, biasanya pulang setiap luburan saja, aku jadi teringat kuliahku di Jakarta, aku meneteskan air mata dan cepat-cepat aku hapus.

Aku mengirim surat kepada ibu dan keluargaku,

Assalamu’alaukum…

Ibu, bagaimana kabar ayah? Semoga ayah lekas membaik. Ibu maaf, ananda baru sempat mengirim surat. Ananda hanya ingin mengabarkan pada ibu kalau ananda disini baik-baik saja, majikan ananda disini sangat baik. Semoga adik-adik bisa terus bersekolah ya bu, salam rindu untuk ibu, ayah dan adik-adik dari ananda di Arab Saudi.

Semoga surat ini dapat mewakili rasa rindu aku yang selalu masuk dalam mimpiku tiap malam.

Tok…tok..tok

Aku cepat-cepat menuju ke arah pintu, tumben sekali ada tamu, dari pertama aku tinggal disini belum pernah ada sekalipun tamu yang datang, hanya tukang koran itupun hanya sampai halaman.

Muda, tinggi besar, putih, mancung, sosok yang belum pernah aku kenal sebelumnya, namun Umi, sebutan majikanku yang tua renta itu langsung memeluknya dan menyuruhku untuk mengangkat barang-barangnya ke kamar atas. Dari wajahnya memang terlihat sedikit mirip, mungkin itu salah satu anaknya yang pernah diceritakan.

Umi segera masak beraneka ragam makanan kesukaan putranya, aku ditugasi untuk membantunya memotong-motong, betapa cintanya Umi pada anaknya itu, aku jadi rindu ibuku, kalau habis naik-naikan kelas dan aku mendapat juara kelas, ibu langsung memasakan aku opor ayam dengan sambal pete kesukaanku, perutku mendadak keroncongan, aku menelan ludah dan kembali melanjutkan memotong-motong sayuran.

Makan malam telah usai, aku seperti menjadi bagian dari mereka, bukan hanya sekedar pembantu, mungkin karna Umi dan Abi tidak mempunyai anak perempuan atau mungkin karena mereka sudah nyaman denganku yang pasti aku bahagia bisa bertemu dengan majikan seperti mereka, walau sesekali aku suka sedih jika mengingat kuliahku.

Malam ini terasa berbeda karena datangnya anggota baru, bukan anggota baru tapi aku yang baru melihat. Semoga sifat anak laki-lakinya itu sama dengan sifat Umi dan Abi nya yang baik.

Tiga malam sudah berlalu, sedikit aneh buatku ketika pernah di suatu sore Rajab, nama anak Umi yang baru datang itu minta dipijiti di dalam kamar yang pintunya harus ditutup, awalnya aku menolak, aku katakan biar aku panggilkan tukang pijit namun Rajab menolak, dia bilang terlalu lama jika harus memanggil tukang pijit. Aku berpositif thingking, mungkin dia sangat lelah dengan perjalanan yang lumayan jauh, aku memijitinya dengan syarat pintu kamar dibuka lebar, ia setuju.

Berulang kali Rajab minta dipijiti, aku sudah sering kali menolak namun Rajab selalu memaksa, dia mengancamku akan memecatku jika aku tidak memijitinya. Aku tidak mau memijiti Rajab karena terkadang Rajab membelai pipiku ketika aku sedang memijiti tangannya, aku sering kali menangkis tangannya jika dia berusaha memberlai pipiku atau mulai meraba tubuhku namun dia malah memegangku erat. Aku ketakutan.

Malam ini ketika Umi dan Abi sudah tertidur lelap, Rajab datang kekamarku minta dipijiti, aku menolak. Rajab menyelinap masuk kekamarku, aku berteriak namun tangannya membekap mulutku. Pintu kamarku dikunci olehnya dan kuncinya dia sembunyikan di saku celananya, aku sungguh ketakutan, apa yang ingin dia lakukan terhadapku, aku berusaha mengetuk pintu dan berteriak meminta pertolongan namun tidak ada yang mendengar, kamarku memang berada jauh dibelakang, bersebelahan dengan garasi hingga suara apapun tak mungkin terdengar. Rajab menamparku karena aku tak mau menuruti kemauannuya untuk tidur, aku terus menyelamatkan diriku dengan melempar benda-benda yang ada disana, aku lemas, tenagaku hampir habis namun sekuat tenanga aku tetap mempertahankan diriku. Rajab merobek bajuku dan menamparku hingga aku pingsan. Malam itu menjadi malam terburuk yang pernah aku alami, aku tersadar sudah tidak mengenakan busana, namun Rajab sudah tidak ada di sebelahku. Aku kesakitan, rasanya seluruh badan dan hatiku sakit.

Aku tidak keluar kamar, tidak menyapu halaman dan tidak memasak, Umi mengira aku sakit, aku memang sakit namun Umi tidak tahu, sakit apa yang aku rasakan. Umi dengan baik hati menyuruhku untuk istirahat saja, karena aku tidak mau dibawa ke Dokter.

Tiga hari aku selalu berada dikamar tanpa keluar, aku selalu menangis. Dan hal yang aku takutkan datang kembali, Rajab datang lagi kekamarku dan mengunci pintuku dan lagi-lagi dia melakukan itu. Dia merenggut kehormatanku kesekian kalinya., rasanya aku sudah tidak ingin hidup lagi.

Tugas meruba cerita non fiksi menjadi fiksi FLP, Sebelum Revisi

Tidak ada komentar: